Libur Ramadhan 2025: Pro Kontra Kebijakan Liburkan Sekolah Sebulan Penuh
Kebijakan ini menjadi sorotan khusus mengingat dampaknya yang signifikan terhadap lebih dari 45 juta siswa di seluruh Indonesia.
Di tengah upaya pemulihan kualitas pendidikan pasca pandemi, rencana libur sebulan penuh ini menghadirkan tantangan baru dalam menyeimbangkan antara kebutuhan spiritual dan akademik peserta didik.
Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur, melalui Kepala Dinasnya Aries Agung Paewai, mengambil sikap tegas menolak usulan tersebut.
Menurutnya, aktivitas pendidikan justru menjadi bagian integral dari pembentukan karakter siswa selama bulan Ramadhan, dengan argumentasi bahwa sekolah dapat mengakomodasi kebutuhan ibadah tanpa mengorbankan proses pembelajaran.
Opsi Kebijakan yang Dipertimbangkan
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi melalui Mendikdasmen Abdul Mu'ti telah memaparkan tiga opsi yang sedang dipertimbangkan.
Opsi pertama adalah libur penuh selama Ramadhan, memungkinkan siswa untuk fokus pada kegiatan keagamaan di masyarakat.
Opsi kedua menawarkan solusi kompromis dengan memberikan libur di awal dan akhir Ramadhan.
Sementara opsi ketiga mempertahankan jadwal pembelajaran seperti biasa dengan penyesuaian jam operasional.
Menko PMK Pratikno mengonfirmasi bahwa keputusan final akan dituangkan dalam surat edaran bersama yang melibatkan tiga kementerian: Pendidikan, Agama, dan Dalam Negeri.
Surat edaran ini dijadwalkan terbit dalam waktu dekat, memberikan kepastian bagi sekolah dan orang tua dalam mempersiapkan agenda Ramadhan 2025.
Dampak terhadap Kalender Akademik
Kepala Dinas Pendidikan Jawa Timur menekankan bahwa libur sebulan penuh akan berdampak signifikan pada kalender pendidikan, mengingat semester berjalan yang relatif pendek dengan target penyelesaian pada Juni.
Hal ini menjadi pertimbangan serius mengingat sekolah harus memenuhi standar jam pembelajaran yang telah ditetapkan.
Saat ini, mayoritas sekolah telah menerapkan sistem pembelajaran yang disesuaikan selama Ramadhan, dengan jam masuk pukul 08.00 WIB dan berakhir pukul 13.00 WIB.
Pola ini terbukti mampu mengakomodasi kebutuhan ibadah siswa sambil tetap mempertahankan kontinuitas pembelajaran.
Keputusan final mengenai kebijakan ini akan menjadi preseden penting dalam pengelolaan pendidikan di Indonesia, khususnya dalam konteks keseimbangan antara pendidikan formal dan nilai-nilai keagamaan.
Masyarakat menunggu dengan saksama bagaimana pemerintah akan menyelaraskan berbagai kepentingan dalam keputusan yang akan diambil.***